5 Juni 2017

Juventus Season 2016/2017 Review


Kebobolan empat gol pada laga final Liga Champions meski hanya tiga kali kebobolan hingga semi-final menjadi alasan Juventus (sekali lagi) gagal mengangkat trofi Liga Champions. Performa buruk pada babak kedua dianggap menjadi biang gagalnya ambisi treble winner yang diusung klub Turin tersebut. Meskipun kekalahan dari Real Madrid di partai final Liga Champions seakan menjadi pernyataan bahwa sang legenda hidup; Gianluigi Buffon hampir pasti tidak akan bisa merengkuh gelar Liga Champions sepanjang karirnya, musim 2016/2017 bisa dibilang cukup sukses dijalani klub berjuluk The Old Lady tersebut.

Raihan enam scudetto berturut-turut menjadikan Juventus sebagai satu-satunya klub yang sukses melakukannya, belum lagi dengan pencapaian dua kali back-to-back double winner (Serie-A dan Coppa Italia) semakin mengukuhkan posisi The Old Lady sebagai klub yang harus dikalahkan tim Italia manapun.





Bila berbicara soal kiper terbaik Juventus pada musim ini, rasanya tidak perlu berpikir banyak untuk menyebutkan nama Gianluigi Buffon sebagai pilihan utama. Di usia yang sudah mencapai 39 tahun, Superman terus memperlihatkan bahwa dirinya masih pantas menyandang nomor punggung satu Ill Bianconeri.


Di lini belakang, nama Leonardo Bonucci pantas dikedepankan sebagai yang terbaik. Dengan semakin menuanya Andrea Barzagli dan masalah cidera yang kerap menimpa Giorgio Chiellini, peran Bonucci di lini pertahanan Juventus menjadi semakin vital karena nama lain semisal Mehdi Benatia maupun Daniele Rugani dirasa masih belum bisa mencapai level permainan yang beberapa musim terakhir diperlihatkan oleh trio BBC ini.

Selain itu ada nama Dani Alves, yang meski lebih sering diletakkan dalam posisi yang lebih ofensif sebagai salah satu pemain 'lini belakang' terbaik Juventus musim ini. Sempat terlihat mengalami kesulitan beradaptasi dengan kultur kompetisi Serie-A, Dani Alves memperlihatkan pengalamannya di level Liga Champions, peran pentingnya dalam menyingkirkan AS Monaco di semi-final menjadi bukti sahih bahwa bek kanan Brazil tersebut belum habis.


Suka tidak suka harus diakui kepergian Pogba membuat sebuah lubang di lini tengah Juventus baik dari segi teknikal maupun fisik. Formasi 4-2-3-1 yang diusung Allegri pada tengah musim terbukti mampu membuat Juventus kembali tampil apik namun bukan berarti masalah tersebut menjadi terpecahkan. Gelontoran empat gol dari Real Madrid di final Liga Champions lebih karena duo Miralem Pjanic dan Sami Khedira gagal mengimbangi lini tengah Madrid.

Perubahan formasi ini mungkin tidak terlalu buruk mengingat Alex Sandro menjadi memiliki waktu untuk belajar menjadi seorang full-back yang lebih menyerang, mengingat duetnya di sisi kiri; Mario Mandzukic kerap mundur untuk membantu pertahanan membuat pemain Brazil tersebut memiliki kesempatan untuk lebih mengasah naluri menyerangnya.


Untuk lini depan, nama Gonzalo Higuain pantas disebut sebagai yang terbaik musim ini. Gelontoran dana 90 juta Euro untuk menebus Pipita dari Napoli dengan tujuan untuk meraih kesuksesan di Eropa mungkin membuat banyak pihak mencibir langkah transfer Juve dan kembali mengatakan bahwa Higuain kerap tampil buruk pada laga penting. Bila sedikit membela Higuain, ketidakefektifannya pada laga melawan Madrid lebih karena rekan-rekannya yang kesulitan menyalurkan bola kepada striker Argentina tersebut.

Selain laga final tersebut, Higuain tak dapat dibantah merupakan mesin gol Juventus. Dua golnya saat menghadapi Monaco dan 24 gol nya di Serie-A menjadi bukti nyata bahwa Higuain telah menjadi 'berubah' selama berseragam Juventus. Ya, satu-satunya 'dosa' Pipita adalah gagal mempersembahkan The Big Ear kepada publik Juventus Stadium.


 BEST MATCH
 JUVENTUS 3-0 BARCELONA


Setelah melakukan comeback dramatis melawan PSG, banyak pihak Barcelona akan dengan mudah (atau setidaknya, dapat melanggeng ke babak berikutnya) saat menghadapi Juventus. Namun skuat Max Allegri seakan mengatakan bahwa keajaiban El Barca telah habis saat mereka melakukan remontada terhadap PSG. Datang ke Juventus Stadium, Lionel Messi dkk. hanya bisa tertegun saat Paulo Dybala dan Giorgio Chiellini merobek gawang Barcelona sebanyak tiga kali.

Laga juga membuat posisi Juventus sebagai favorit juara Liga Champions kembali berdengung dan nama Paulo Dybala sebagai the next great thing menjadi pembicaraan jurnalis-jurnalis dari berbagai belahan dunia.


WORST MATCH
 JUVENTUS 1-4 REAL MADRID


Dari semua laga untuk bisa tampil buruk, Juventus malah melakukannya pada babak kedua di laga final Liga Champions menghadapi sang juara bertahan; Real Madrid. Sempat mengimbangi permainan Madrid di babak pertama, kombinasi buruknya koordinasi lini belakang yang sangat terjadi pada musim ini ditambah dengan kalahnya lini tengah Juventus menjadi alasan gawang Gianluigi Buffon bergetar lebih banyak ketimbang seluruh laga Liga Champions yang mereka jalani sebelum partai final.

1 komentar:

  1. Mungkin gua adalah satu dari sedikit cowo yg kaga suka ngikutin sepak bola. Maklum, gua punya short attention span. Liatin orang-orang lari-lari sambil rebutan bola sepak, maks cuma tahan 10 menit, udah itu pikiran gua bakal jadi kosong...dan ngelantur ke sana ke mari, hahaha. Makanya gua lebih cocok nonton Smackdown. Gebuk-gebukan 10 menit, beres dah.

    BalasHapus

Dapat berkomentar menggunakan G+ namun mohon maaf tidak memperbolehkan akun anonim.

Sangat terbuka dengan segala macam komentar, apalagi yang bisa membangun untuk kemajuan blog ini.

Tidak disarankan untuk melakukan copas (copy-paste) terhadap segala tulisan di blog ini karena sewaktu-waktu dapat dilaporkan kepada DMCA Google yang menyebabkan blog si plagiat dapat dihapus dalam kondisi terparah.

Akhir kata, terima kasih sudah berkomentar ^^v

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...